Langit terlihat sangat cerah, hari pemilihan walikota Bandung. Saya tidak ikut
memilih, bukan karena apatis atau malas, tapi karena digolputkan oleh
administrasi. Pagi itu saya sibuk di rumah saat orang lain masih tidur,
menyiapkan barang-barang yang akan dibawa hari ini. Hari ini saya dan
teman-teman akan mendaki Gunung Manglayang. Sleeping
bag, carrier bag, tenda, webbing, semuanya
sudah ketemu. Sayangnya saya belum juga bisa menemukan syal angkatan kesayangan
yang biasanya selalu saya bawa setiap kali naik gunung.
Akhirnya
saya pergi ke Jatinangor dari Bandung. Waktu itu sekitar pukul 8 pagi. Semua
orang masih bersiap-siap. Rencananya kami akan berangkat jam 1 siang. Sampai di
Bale, teman-teman ada yang sudah siap, ada juga yang masih tidur. Kami mencoba
dulu berlatih mendirikan tenda karena tenda yang ini baru dan cukup besar,
sepertinya cukup untuk menampung 9-10 orang. Kami memastikan lagi siapa saja
yang akan ikut hari ini, karena tentunya itu sangat penting untuk
mempertimbangkan berapa banyak tenda dan sleeping
bag yang perlu kita sewa. Kami pun menyewa 2 buah angkot untuk mengantarkan
kami ke Kaki Gunung manglayang. Hari ini yang akan pergi adalah kami ber-14,
mahasiswa FK Unpad 2012. Saya, Irfan, Arvin, Irham, Mushlih, Adi, Fadhil, Idon,
Surya, Pavan, Syes, Naga, JJ, dan Indirran. Nama 5 orang terakhir adalah mahasiswa
KPBI yang berasal dari Malaysia. Setelah mengecek lagi semua peralatan, siaplah
kami untuk pergi! Mari kita mulai dengan membaca basmallah
Para petualang Nostra |
Peralatan
yang kami bawa lengkap, tapi tentunya tidak terlalu banyak juga berhubung kami
hanya akan pergi selama semalam. Peralatan yang perlu dibawa jika ingin
menginap di Manglayang adalah sebagai berikut:
WAJIB
- · Tas (diutamakan tas carrier karena akan lebih nyaman)
- · Pakaian ganti 1 set
- · Jaket tebal
- · Ponco atau jas hujan
- · Celana panjang (yang nyaman saja, disarankan tidak memakai jeans)
- · Sarung tangan (medannya menuntut menggunakan kedua tangan)
- · Kaus kaki
- · Sepatu + sandal
- · Sleeping bag
- · Makanan berat untuk 2 kali makan
- · Makanan ringan secukupnya (usahakan yang banyak energi seperti cokelat,gula merah, dsb)
- · Tenda
- · Uang secukupnya (sewa pickup kurang lebih 150ribu sampai ke Jalan Raya Bandung-Sumedang)
- · Senter + baterai cadangan
- · Obat-obatan pribadi
- · Tenda
- · Tisu
- · Garam (ditaburkan di sekitar tenda untuk menjauhkan binatang melata)
- · Kamera (tentunya tidak mau kehilangan momen kan?)
- · Golok (berguna untuk menebas ranting, atau melindungi dari babi hutan)
Optional
- · Topi atau kupluk
- · Korek api
- · Kayu bakar
- · Handuk
- · Kartu
Akhirnya
perjalanan dimulai jam 2 siang! Kami ber-14 pergi menggunakan angkot terlebih dahulu
untuk mencapai Kaki Gunung Manglayang. Puncak Manglayang ini dapat dicapai
melalui 2 rute, yaitu Batu Kuda atau Baru Bereum. Saya sudah melalui rute Batu
Kuda dan yang saya ingat medannya tidak terlalu curam tetapi panjang. Kali ini
kami akan melalui rute Baru Bereum. Berhentilah angkot tepat di jalan yang
sudah mulai berbatu-batu saja dan menanjak. Setelah turun kami membawa seluruh
barang bawaan kami dan mulai berjalan.
Pukul 2 lebih
itu untungnya matahari tidak terlalu terik dan udara terasa sejuk, tidak
menyulitkan kami lebih jauh untuk berjalan naik. Jalanan yang berbatu terkadang
menyulitkan beberapa teman yang memakai sepatu olahraga yang sol-nya tidak
terlalu bergerigi. Kami beristirahat beberapa kali. Kami juga sempat mampir ke
sebuah warung dan meminjam teko untuk membuat kopi serta golok untuk menebas
ranting dan lain-lain. Kurang lebih 30 menit kemudian kami berhasil sampai ke
Kaki Gunung.
Kaki Gunung rute Baru Bereum |
Di situ kami
melepas lelah sebentar, ternyata kami baru sampai kakinya saja, perjalanan
bahkan belum dimulai. Karena ada warung, kami minum sebentar dan juga salat
asar. Kami melanjutkan perjalanan lagi pada pukul 4. Ekspektasi kami adalah
dengan 2 jam kami sudah sampai puncak, jadi seharusnya sebelum gelap kami sudah
sampai dan bisa segera mendirikan tenda.
Akhirnya
perjalanan pun dimulai. Jujur saya sangat excited
karena mendaki ini adalah hobi saya dan ini adalah impian saya untuk bisa naik
gunung bersama-sama teman-teman dari FK Unpad. Akhirnya di akhir tahun
pelajaran ini, bisa juga direalisasikan. Mudah-mudahan ini hanyalah perjalanan
pertama yang akan diikuti dengan perjalanan-perjalanan yang tidak kalah seru
selanjutnya!
Langkah pertama pendakian |
Fadhil yakin saat mencapai puncak akan kurus |
Setelah
istirahat beberapa menit, waktu sudah menunjukkan pukul 4.50. Kami punya waktu
satu jam lebih sedikit untuk mencapai puncak sebelum gelap menutupi langkah
kami. Mulailah kami berjalan kembali. Medan yang kami hadapi sekarang sudah
jauh lebih sulit dari yang pertama. Sangat curam. Hampir semua medan yang kami
lalui kemiringannya lebih dari 60 derajat, hanya ada beberapa jalan pendek yang
cukup datar. Sekarang juga tidak hanya tanah, tetapi batuan juga mulai muncul
sehingga kami harus mendaki dan memanjat, dengan membawa seluruh barang-barang.
Kami juga harus berhati-hati saat menarik tumbuhan untuk membantu naik, karena
banyak juga tumbuhan yang berduri di sini. Sebenarnya medan seperti ini adalah
medan favorit saya karena membutuhkan kekuatan tangan serta fleksibilitas yang
tinggi untuk melaluinya sehingga sangat menantang!
Medan yang cukup menantang |
Semakin jauh
kami berjalan, udara semakin segar menerpa kami. Kabut mulai muncul dan gemuruh
awan terdengar dari kejauhan. Kami harus berjalan lebih cepat. Kami mempercepat
langkah kami hingga akhirnya kami melewati daerah curam tadi. Kami mulai
bertemu lagi dengan jalan setapak yang kemiringannya 30-40 derajat. Langkah
kami terasa lebih ringan dari tadi. Maju, dan maju terus. Hingga akhirnya
puncak gunung tidak terlihat lagi jika kami menengok ke depan, yang artinya,
kami sudah dekat! Tetapi jika mungkin ada yang pernah mendengar sebuah quote bahwa orang yang berniat
menjelajahi 100 desa, akan berhenti di desa ke-90. Begitulah hukumnya berlaku. Seiring
kami mendengar kata-kata, “Puncak sudah dekat!”, saat itu pula langkah kami
terasa semakin berat. Lutut serasa bergetar, pijakan sudah tidak lagi benar.
Keringat bercucuran dan tubuh terasa lemas untuk dibawa naik dan naik lagi. Jalan
licin, beberapa pohon menghadang kami kembali. Undakan-undakan tanah yang tadi
saya lewati hanya dengan satu langkah, sekarang saya harus menaruh lutut
terlebih dahulu barulah bisa naik. Sekali lagi saya menaruh lutut dan mendorong
tubuh lagi. Dan saat saya baru akan memijakkan kaki sekali lagi ke undakan
selanjutnya, saya baru sadar tidak ada undakan selanjutnya. Pandangan yang dari
tadi mengarah ke bawah, supaya tidak melihat seberapa jauh lagi ke depan,
sekarang menengok tepat lurus ke depan.
Tidak ada pohon,
tidak ada gunung, yang ada hanyalah sebidang tanah kosong yang cukup luas yang
dikelilingi oleh jurang. Hamparan pemandangan membentang di depan kami,
sayangnya kabut yang tebal menutupinya sehingga keindahannya masih belum
terasa. Tepat sebelum hari gelap, kami
berhasil mencapai puncak! Kaki terasa sangat lemas, napas pun terengah-engah,
semua orang terduduk dengan tasnya di bawah, mencoba mengumpulkan lagi tenaga
yang sudah habis karena dikeluarkan semuanya di akhir. Tetapi kami tidak bisa terlalu
lama beristirahat, kabut sudah datang dan gelap juga semakin menutup matahari.
Waktunya mendirikan tenda. Segera kami keluarkan kedua tenda yang kami bawa dan
kami mendirikan tenda di dua tempat yang terpisah agak jauh, karena sebenarnya
tempat ini sangat kecil dan dikelilingi oleh jurang. Ada tempat lain di mana
kami bisa mendirikan tenda juga, tetapi pemandangannya tentu tidak seindah
tempat ini. Waktu menunjukkan pukul 5.59, tepat sekali sesuai jadwal.
Akhirnya dalam
waktu kurang lebih 30 menit kami berhasil mendirikan kedua tenda, tenda yang cukup
besar dan sangat nyaman. Kami masukkan semua tas ke dalam tenda. Setelah
beristirahat sejenak, ternyata sudah memasuki waktu Isya. Kami salat berjamaah
lalu dilanjutkan dengan makan nasi bungkus yang kami bawa. Sebagian besar dari
kami membawa nasi dari Katineung, saya sendiri membawa Nasi Padang yang berisi
rendang, terong, perkedel kentang, serta telur dadar. Ini adalah makanan kami
sehari-hari, tapi entah kenapa hari ini terasa lebih nikmat, jauh lebih nikmat.
Makan bersama yang disertai tawa juga cerita, entah mengapa malam ini begitu
berharga.
Tidak terlalu
banyak yang kami lakukan malam itu, kami berusaha menyalakan api unggun. Tapi
rupanya, letaknya yang tidak ditutupi pohon sama sekali, serta ranting yang
masih basah karena hujan beberapa hari yang lalu, menyulitkan kami untuk
menyalakan api unggun tersebut. Akhirnya kami kembali ke tenda masing-masing dan
mengobrol sambil melahap makanan ringan. Malam itu entah mengapa terasa sangat
hangat. Belum pernah rasanya saya merasa sehangat itu saat naik gunung. Apa
mungkin karena banyak orang di tenda ini? Tapi ternyata saat saya membuka pintu
tenda, udara dingin menusuk tulang. Ternyata kemampuan menahan dingin tenda ini
sangat baik, tidak sia-sia saya membelinya! Udara yang sangat dingin di luar
ternyata tidak terasa sedikitpun di dalam. Saya juga menengok ke bawah, kabut
tebal masih menutupi pemandangan.
Suara sudah
makin sedikit terdengar, satu per satu teman-teman pun tertidur. Karena tadi
meminum kopi saya jadi kesulitan tidur. Akhirnya sekitar pukul 00.30 barulah
saya bisa tertidur. Ternyata, seperti biasanya yang terjadi di tengah alam,
udara menjadi lebih dingin pada pukul 2-3 pagi. Udara dingin mulai terasa. Saya
yang tadinya hanya memakai kaus dan celana pendek dan tidak menggunakan sleeping bag saya, akhirnya mulai masuk
ke dalam sleeping bag. Dingin mulai
terasa, untungnya masih bisa teratasi. Kami pun melanjutkan tidur.
Terdengar
suara azan dari kejauhan, ternyata azan pun masih terdengar sangat jelas di
tempat ini. Beberapa orang terbangun. Kami berjalan keluar dan kabut yang sejak
kemarin menutupi pemandangan di depan kami akhirnya tersingkap. Hamparan
lampu-lampu dari bagian timur Bandung memenuhi pemandangan di depan kami. Terlihat
dari sini stadion baru kebanggaan warga kota Bandung, Gelora Bandung Lautan
Api. Pemandangan ini terlihat sangat indah dari tempat ini. Kurang lebih 300
derajat pemandangan kami merupakan hamparan kota serta pegunungan. Sisanya di
belakang kami masih ada beberapa pohon yang menutupi. Bulan yang penuh masih
terlihat di atas. Angin kencang menggoyangkan tenda kami beberapa kali.
Dalam hati
saya menyadari, betapa rasa dingin ini menyatu dengan tubuh saya. Rasa dingin
ini adalah kenangan masa kecil saat seringkali orangtua saya membawa kemping,
juga saya bersama sekolah pergi kemping dan naik gunung bersama-sama. Angin
dingin serta udara sejuk inilah yang membuat saya selalu merindukan tempat ini,
selalu merindukan alam. Perasaan ini yang menjadikan saya satu dengan mereka. Bernapas
dengan mereka, dan bergerak seiring dengan gerakan mereka. Betapa indahnya dan
betapa rindunya saya dengan perasaan ini.
Semua orang
keluar dengan celana panjang dan jaket tebalnya. Saya masih dengan celana
pendek dan kaus, dengan kamera tentunya. Berusaha mengabadikan pemandangan yang
luar biasa di hadapan ini. Tapi ternyata setelah beberapa lama cukup dingin
juga, jadi saya mengganti pakaian dengan celana panjang serta jaket FK Unpad
Unite.
Me with Bendera Nostra |
Matahari mulai
muncul, menyingkap lebih jauh pemandangan tadi. Awan-awan bergerak membentuk
barisan dihiasi warna jingga dan merah muda yang terbiaskan dari fajar yang
menyingsing. Sangat indah. Kami mulai mengambil beberapa foto, lalu beberapa
lagi, dan beberapa lagi, dan ternyata sangat banyak foto yang kami ambil. Kami
mengeluarkan bendera angkatan kami, FK Unpad 2012 Nostra. Kami buka dan
kibarkan di puncak ini. Kami akan mengibarkannya di setiap perjalanan kami. Itu
adalah janji bahwa kami akan selalu membawanya ke tempat tertinggi. Itu pun
adalah janji bahwa sejauh apapun kita pergi, kita tak boleh lupa tempat kita
kembali dan berjuang.
Matahari sudah
naik, dingin tergantikan oleh panas. Gelap tergantikan oleh cahaya terang. Kami
semua mulai membuka jaket. Setelah kami mulai bersantai kembali, ternyata ada
satu hal. Tempat ini bukanlah puncak tertinggi.
Ya, ternyata
ini bukanlah puncak sesungguhnya dari Gunung Manglayang, masih ada puncak satu
lagi, puncak sejati. Maka kami tentunya tidak mau setengah-setengah, saat kami
mendaki sebuah gunung, puncak adalah tempat yang harus dicapai. Kami segera
membereskan tenda serta barang-barang, berkemas menuju Puncak “Sejati”
Manglayang.
Waktu
menunjukkan pukul 7.30. Kami menargetkan
agar sebelum tengah hari kami sudah berada di kaki gunung kembali. Perjalanan hari
ini dimulai dengan berjalan turun. Cukup jauh turunan yang kami lewati, lalu
kami kembali naik. Puncak Manglayang ini terlihat dari tempat kami berkemah kemarin.
Agak terpisah sedikit saja. Medan yang kami lalui hari ini tidak terlalu sulit,
hanya beberapa tempat kami harus sedikit memanjat seperti kemarin. Tapi selain
itu, banyak jalan yang cukup landai. Hari itu kami menghirup udara yang jauh
lebih segar. Mungkin karena saat itu pagi hari, sementara kemarin kami mendaki
pada siang hari. Kalau seperti kata Dekan kami, oksigennya terasa manis. Tidak memakan waktu terlalu lama,
1 jam kemudian kami berhasil mencapai puncak sesungguhnya. Ada papan
bertuliskan “Puncak Manglayang”, serta tanah kosong yang cukup luas. Bedanya,
tempat ini dikelilingi oleh pepohonan sehingga pemandangannya tidak seindah
tempat kemarin. Tanahnya dipenuh dedaunan dan ada bekas api unggun. Sayangnya
kami menemukan banyak sampah di tempat ini, sampah yang ditinggalkan oleh para
pendaki yang tidak bertanggung jawab. Selain itu ada papan yang menunjukkan
arah ke Batu Kuda.
Seperti biasa,
kami menikmati sebentar tempat ini, berfoto-foto, dilanjutkan dengan makan
makanan yang masih ada. Di papan yang menunjukkan Puncak Manglayang, tertulis
bahwa tempat ini berada 1818 mdpl. Kaki gunung berada pada 1195 mdpl. Berarti
kami menempuh perjalanan melewati ketinggian 623 meter.
Setelah puas
bermain-main di puncak, sudah waktunya pulang. Waktu sudah pukul setengah
sembilan dan sebelum zuhur kami harus sudah di kaki gunung. Kembalilah kami turun,
sambil menyempatkan ziarah ke sebuah makam yang entah makam siapa tetapi
sepertinya leluhur di daerah situ. Perjalanan turun pastinya terbayang oleh
siapapun lebih cepat. Benar. Tapi ternyata tidak lebih mudah. Kalau naik
membutuhkan tenaga yang sangat besar, turun membutuhkan konsentrasi yang sangat
besar. Kalau naik banyak menggunakan tenaga kaki, turun jauh lebih menggunakan
tenaga tangan. Banyak tempat terutama yang curam kami lalui dengan sliding. Sangat seru, sampai saking
serunya saya menabrak teman yang di depan. Saat mencapai tempat berkemah
kemarin, kami mengambil trash bag
serta teko yang kami tinggalkan sementara di sana. Lalu kami melanjutkan
perjalanan turun. Total perjalanan untuk sampai ke Puncak Manglayang
menghabiskan waktu 3 jam. Saya memperkirakan untuk turun kita akan membutuhkan
waktu 2 jam 15 menit. Turun jauh lebih cepat dari naik, kami tidak terlalu
banyak beristirahat. Dan tidak terasa sampailah sudah di kaki gunung, 2 jam
seperempat sesuai perkiraan. Sebagian teman kami masih ada yang di belakang.
Saat naik kami menunggu supaya tidak terpisah, tapi saat turun tidak menjadi
terlalu masalah karena semua sudah tahu jalannya, dan kami harus menghubungi
kendaraan yang akan kami tumpangi terlebih dahulu.
Di kaki gunung
kami singgah sebentar di warung. Sebagian yang lain membersihkan diri di sungai
kecil yang sangat jernih. Kami melahap gorengan serta minuman yang ada di
warung. Saya sempat mengobrol dengan ibu warung yang biasa dipanggil Emak. Emak
bercerita bahwa tempat ini tidak pernah sepi, setiap hari pasti selalu ada yang
naik, terutama dari Unpad. Di akhir minggu tempat ini lebih ramai lagi dengan
orang-orang paling tidak dari Bandung, dan tempat lain. Saya juga bertanya
apakah Emak punya nomor telepon angkot untuk dihubungi. Dan ternyata Emak punya
nomor pickup yang bisa disewa dengan harga 150 ribu, yang berarti harganya sama
dengan dua angkot kemarin. Langsung saja kami ambil pickup tersebut. Beberapa
lama kemudian datanglah pickup tersebut dan berangkatlah kami ke kembali ke
Bale. Sampai Bale kami membayar biaya sewa pickup tersebut dan menurunkan
barang-barang.
Perjalanan ini
adalah sebuah cerita. Badan kami terasa sangat pegal, tapi hati kami terasa
sangat segar. Terisi oleh kebahagiaan dan kepuasan. Pendakian gunung bukanlah
kegiatan berjalan biasa, itu adalah sebuah petualangan. Alam adalah tempat di
mana kita dapat menghapuskan kompleksitas hidup sejenak dan kembali kepada
sejatinya kita sebagai manusia, yang bergantung kepada alam. Tempat di mana
akan terlihat sifat asli dari seseorang. Tempat di mana manusia akan saling
bertarung dan saling berbagi. Perjalanan ini adalah perjalanan kecil, untuk
sebuah awal yang besar. Sebuah kekuatan, sebuah perjuangan, yang pastinya akan
terkenang di hati orang-orang yang menjalaninya. Sebuah pengalaman yang manis,
yang tak akan terlupakan. Sebuah waktu, yang akan menyatukan hati kita.
Ingatlah teman,
Manglayang hanyalah batu pijakan kecil. Petualangan besar menantikan
orang-orang besar untuk menjadikannya ada. Mereka menantikan kita.
Manglayang, 23-24 Juni 2013
Aditya Nugraha Nurtantijo
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteyoi, keren banget lah
ReplyDeleteMantap masbroo.. Manglayang sebuah pemanasan untuk petualangan selanjutnya :D
ReplyDelete