Dokter
Indonesia : Siapkah Kita Menghadapi
Era
Masyarakat Ekonomi ASEAN?
Pendahuluan
Singapura, 12 November 2007. Negara-negara yang tergabung
dalam Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) menyepakati sebuah cetak biru deklarasi yang kini kita
sebut sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kesepakatan ini antara lain
muncul karena ada keinginan untuk mencapai level dan pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi di negara-negara ASEAN. Kebijakan seperti ini memiliki kesamaan
dengan European Union (EU) yang
menerapkan kebijakan free-trade area
dalam wilayahnya.
MEA sendiri merupakan bagian dari proses perwujudan ASEAN
Vision 2020 yang mengharapkan wilayah ASEAN pada tahun 2020 akan menjadi “Zone of Peace, Freedom and Neutrality”
sebagaimana digambarkan dalam Deklarasi Kuala Lumpur tahun 1971. (2008)
Melihat
kesiapan dokter Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
Jika kita
melirik pada sistem pendidikan kedokteran, tentunya kita tidak kalah dengan
negara ASEAN lainnya. Dilihat dari sisi jangka waktu, rata-rata 5-6 tahun
adalah waktu yang juga diperlukan untuk menjadi seorang dokter di negara-negara
ASEAN. Ada beberapa kendala yang dikeluhkan baik dari pihak mahasiswa
kedokteran maupun dokter. Tidak meratanya tenaga pengajar serta fasilitas
menyebabkan ada kesenjangan dalam pendidikan kedokteran. Masalah lain juga
muncul terutama dari para dokter muda di daerah yang padat, seperti Jakarta
atau Jawa Barat. Banyaknya dokter muda, perawat, bidan, bahkan residen berebut
pasien yang datang menyebabkan suasana kurang kondusif untuk mendapatkan
pengalaman klinis yang mumpuni.
Dari segi non-medis, ada beberapa hal yang bisa disoroti dari
dokter Indonesia. Biarpun pendidikan kedokteran menekankan tindakan promotif
yang baik dalam bentuk edukasi, pada praktiknya dokter-dokter terutama di
puskesmas dan daerah padat cenderung jarang melakukannya dalam lingkup klinik.
Memang penyuluhan rutin dilakukan, tetapi edukasi saat menangani pasien masih
minim. Hal tersebut terjadi karena jumlah pasien yang membludak setiap harinya.
Kebiasaan tersebut tentunya perlu diperbaiki.
Isu lain yang penting dibahas adalah perihal bahasa. Hingga
saat ini ujian kompetensi untuk dokter Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia.
Tentunya hal ini sangat penting, mengingat praktik dilakukan di Indonesia.
Tetapi, Bahasa Inggris yang mumpuni juga diperlukan untuk dapat bersaing secara
internasional. Hal ini tentunya perlu menjadi pertimbangan bagi institusi
pendidikan kedokteran ke depannya.
Pentingnya
regulasi yang tidak merugikan warga negara Indonesia
Keterbukaan
dalam bisnis regional memerlukan regulasi yang sesuai. Presiden Indonesia Joko
Widodo mengemukakan dalam KTT ke-25 ASEAN di Nay Pyi Taw, Myanmar, bahwa
Indonesia di bawah pemerintahannya terbuka untuk bisnis. Namun, Indonesia,
seperti negara berdaulat manapun, harus memastikan kepentingan nasional tidak
dirugikan. (2014)
Kita dapat melihat ke belakang hubungan bilateral antara
Indonesia-Tiongkok yang sudah berjalan puluhan tahun lamanya. Baik investor
maupun pekerja dari Tiongkok datang berbondong-bondong menanamkan modal dan bekerja
di Indonesia. Sementara itu regulasi pemerintah yang tidak tegas dalam mengatur
kerjasama dengan luar negeri mengakibatkan perekonomian dikuasai oleh warga
negara asing. Jangan sampai era liberalisasi ini membuka kesempatan bagi
neo-kolonialisme.
Dilihat dari sisi kesehatan, regulasi mengenai praktik
kedokteran merupakan isu utama yang harus diselesaikan sebelum kita dihempas
oleh gelombang pekerja asing dari luar negeri. Indonesia selama ini banyak
bekerjasama dengan investor asing dalam berbagai bidang. Tanpa regulasi yang
kuat, jelas, dan konsisten, tenaga kesehatan Indonesia akan menjadi
bulan-bulanan tenaga kesehatan asing yang datang dari luar.
Pembaruan regulasi pun perlu dilakukan juga dalam bidang
pendidikan kedokteran. Saat ini ada kendala dalam pendidikan profesi kedokteran,
salah satunya adalah internship
dengan interval yang lama setelah kelulusan menyebabkan para dokter terlambat
memasuki dunia kerja. Hal ini berpotensi menurunkan daya saing para dokter yang
sudah Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD).
Sejauh ini blueprint
MEA terkait dengan perdagangan jasa mencakup 4 modes of supply, yaitu cross-border supply, consumption abroad,
commercial presence, dan movement of
natural person. (2008)
Mode 1, Cross-border
supply, adalah pasokan lintas batas jasa, contohnya saat WNI membeli jasa
dari luar negeri tanpa harus meninggalkan tempat tinggalnya melalui telemedicine. Mode 2, Consumption abroad, adalah jasa yang
diberikan oleh penyedia jasa kepada warga negara asing. Mode 3, Commercial presence adalah jasa yang
diberikan oleh penyedia jasa luar negeri di negara konsumen, misalnya
perusahaan asing mendirikan rumah sakit di Indonesia. Mode 4, Movement of natural person adalah tenaga
kerja asing yang menyediakan jasa keahlian tertentu dan datang ke negara
konsumen, misalnya dokter asing praktik di Indonesia. (Sunaria, 2015)
Mekanisme
penjadwalan penghapusan hambatan perdagangan jasa diatur dalam ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS). Sejak disepakatinya AFAS,
liberalisasi jasa dilakukan secara bertahap dengan membuat paket Schedule on Commitments (SoC) untuk setiap putaran. Komitmen
tersebut tidak boleh ditarik kembali. Hingga saat ini, Indonesia belum
memberikan komitmen untuk Mode 4. Untuk
Mode 1 dan 2 disepakati tanpa limitasi. Untuk Mode 3 disepakati dengan
ketentuan: penyertaan modal asing sampai dengan 70%, kecuali di Makasar dan
Manado sampai dengan 51%; tenaga kesehatan wajib merupakan warga negara
Indonesia; pendirian terbatas di ibukota provinsi di wilayah Indonesia Timur. (Sunaria, 2015)
Dari uraian di atas dapat kita
simpulkan, hingga saat ini pemerintah masih belum membuka pintu secara bebas
bagi tenaga asing, dan jika dilihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo dalam
beberapa kesempatan, pemerintah akan tetap mempertahankan komitmen tersebut.
Kita harus realistis bahwa daya saing warga negara Indonesia masih belum cukup
dibandingkan dengan negara-negara tetangga, sehingga harus sangat berhati-hati
dalam membuka pintu untuk tenaga asing.
Strategi
negara dalam berkompetisi dengan negara asing
Dalam kondisi persaingan yang sangat ketat, sangat
diperlukan kesadaran untuk meningkatkan kompetensi dan daya saing. Mantan
Menteri Kesehatan Indonesia, Nafsiah Mboi pernah mengutarakan pentingnya
menjaga serta meningkatkan mutu dan daya saing SDM Kesehatan Indonesia serta
meningkatkan pengawasan tenaga kesehatan warga negara asing yang bekerja di
Indonesia. Upaya pengembangan SDM kesehatan ini salah satu wujudnya adalah
dengan mengesahkan undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan.
Dalam bidang ketenagakerjaan, satu hal utama yang perlu
diatur adalah jumlah tenaga asing yang akan masuk. Jumlah dokter umum di Indonesia
berdasarkan Konsil Kedokteran Indonesia per 21 April 2015 ada di angka 104.772
yang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk ada di angInveka 1 dokter untuk
sekitar 2.400 penduduk. Angka ini sebenarnya sudah memenuhi standar WHO yang
memberikan rekomendasi 1 dokter untuk 2500 penduduk. Tapi ternyata
sebagian besar dokter tersebut terpusat
di bagian barat Indonesia. Pulau Jawa begitu padat dengan dokter sementara
wilayah Indonesia timur masih sangat kekurangan. Masuknya tenaga asing ke dalam
negeri bisa kita gunakan untuk daerah-daerah yang kekurangan peminat tenaga
kesehatan. Jika regulasi ini dapat diimplementasikan, kita dapat memenuhi
kebutuhan tenaga kesehatan di daerah yang kekurangan. Jika mereka menolak,
berarti kita dapat mengontrol jumlah tenaga asing yang masuk ke Indonesia
Dalam bidang investasi, kita harus berhati-hati dalam
membuat kesepakatan. Seringkali dalam investasi yang masuk, terlampir
syarat-syarat terselubung. Misalnya saat investor dari suatu negara menanamkan
modal, mereka memberi syarat tenaga kerja proyek tersebut harus didatangkan
dari negara mereka. Hal ini justru malah mengambil porsi lapangan kerja bagi
masyarakat lokal. Seharusnya dalam setiap investasi atau masuknya tenaga asing,
ada kerjasama bahwa mereka harus mempekerjakan orang Indonesia atau melibatkan
orang Indonesia dalam proses. Hal ini dapat meningkatkan lapangan pekerjaan
serta mengembangkan kualitas SDM dari Indonesia. Sebenarnya regulasi
ketenagakerjaan mengatur tentang hal ini, tapi pada praktiknya warga negara
Indonesia hanya menjadi buruh, tanpa ada transfer ilmu.
Dalam bidang pendidikan, Indonesia perlu untuk
meningkatkan jumlah pelajar yang menimba ilmu di negeri asing. Berdasarkan
Webometrics, saat ini hanya Universitas Gadjah Mada saja yang masuk ke
peringkat 10 besar Asia Tenggara. Sisanya didominasi oleh Singapura, Thailand,
dan Malaysia. Saat ini MEA belum mencantumkan regulasi lebih lanjut mengenai
kerjasama pendidikan antarnegara. Jika kita dapat mewujudkan kerjasama dalam
dunia pendidikan di era MEA ini, kita dapat meningkatkan kualitas SDM Indonesia
untuk nantinya bersaing dengan warga negara asing.
Medical Tourism
Salah satu
bentuk spesifik pelayanan kesehatan yang bisa kita kembangkan adalah medical tourism. Medical tourism ini
adalah sesuatu yang lazim dilakukan orang negara kita sendiri khususnya di Malaysia
dan Singapura. Tidak kurang dari lima ratus orang per tahun datang ke negara
tetangga untuk berobat. WNI yang berobat di luar negeri adalah kalangan
menengah ke atas yang menganggap fasilitas medis maupun tenaga kesehatan di
Indonesia masih di bawah standar kelayakan sehingga mayoritas mereka pergi
berobat di luar negeri.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa WNI lebih senang untuk
berobat ke Malaysia atau Singapura? Jawabannya adalah : pelayanan, fasilitas,
dan harga. Pelayanan rumah sakit dan dokter di Malaysia terkenal jauh lebih
ramah. Dokter menyisihkan banyak waktu untuk menjadi pendengar yang baik dan
memberikan edukasi dengan lengkap kepada pasien. Hal ini tentunya sulit
dilaksanakan di Indonesia dengan jumlah pasien yang membludak. Di fasilitas
layanan primer, pasien dalam satu hari paling tidak menyentuh angka lima puluh
orang. Dalam hal fasilitas, Indonesia masih belum bisa menyediakan alat medis
untuk terapi dan diagnosis sebaik Malaysia. Hal ini tentu saja menjadi tanda
tanya besar, karena Indonesia dan Malaysia sama-sama bergantung pada impor dari
luar negeri. Ternyata hal ini berhubungan erat dengan pajak yang dikenakan pada
alat-alat medis dan obat. Di malaysia alat medis dan obat tidak dikenakan pajak
lagi oleh pemerintah, sehingga harga barang bisa lebih murah sekitar 40% dari
Indonesia. Hal itu tentunya berimbas pada pasien, yang harus membayar mahal
untuk pelayanan kesehatan. Ditambah lagi angka anggaran kesehatan kita yang
masih berkisar sekitar 2-4%, padahal negara-negara lain rata-rata 10% dari
APBN. (Wirawijaya, 2014)
Dari masalah-masalah tersebut, momentum MEA ini dapat
menjadi pertimbangan kembali bagi pemerintah untuk mengatur arus investasi
dalam bidang kesehatan. Jika tenaga kesehatan asing dirasa masih perlu
dibatasi, investasi seharusnya mendapat tempat yang pantas di dalam sektor
kesehatan. Investasi dari luar dalam bentuk pelayanan dan fasilitas kesehatan
berupa rumah sakit yang berkualitas, laboratorium yang lengkap, infrastruktur
yang nyaman dan indah, dapat menjadi dorongan bagi Indonesia untuk bersaing
dengan negara-negara tetangga dalam bidang medical
tourism.
Tentunya sebelum memanfaatkan investor asing, komitmen
dari dalam negeri perlu dibangun terlebih dahulu. Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2013 pernah membuat
kerjasama tentang pengembangan wisata kesehatan. Hal ini perlu diwujudkan nyata
dalam bentuk peningkatan anggaran kesehatan dan pariwisata bagi medical tourism.
Dari seluruh pemaparan-pemaran di atas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa saat ini tenaga kesehatan Indonesia belum memiliki daya saing
yang cukup untuk dapat bersaing langsung dengan tenaga asing. Masih perlu
peningkatan sikap serta kualitas kerja. Dalam menghadapi MEA ini juga,
Indonesia masih perlu meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran sebagai modal
untuk bersaing dalam MEA. Kemudian sektor-sektor potensial dalam bidang
kesehatan seperti medical tourism
harus ditingkatkan dalam MEA ini untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam
kompetisi internasional.
Doa kita semua, semoga pemerintah dapat mengambil kebijakan
yang sebaik-baiknya dan warga negara Indonesia punya kesadaran tinggi untuk
menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Semoga warga negara dan pemerintah
bisa lebih sadar betapa pentingnya maju bersama-sama dan berkolaborasi. Seperti
kata Walikota Bandung, Ridwan Kamil, “Kini
bukan zamannya mengubah zaman sendirian. Kita perlu bersama-sama, kita perlu
berkolaborasi. Kolaborasi itu ibarat kunci pintu rumah yang bernama masyarakat
madani”.
Referensi
SUNARIA. 2015. Era Masyarakat Ekonomi Asean dan Perdagangan Jasa Kesehatan 2015 [Online].
Available: http://www.idingada.org/era-masyarakat-ekonomi-asean/.
WIRAWIJAYA, E. P. 2014.
Pelayanan Kesehatan Indonesia VS Malaysia
[Online]. Available: https://www.linkedin.com/pulse/20140811185653-222338142-pelayanan-kesehatan-indonesia-vs-malaysia.
Essay ini memenangkan Juara 1 Essay Competition Kajian Luar Biasa dalam Indonesia Englightenment Exhibition dengan tema "Regulasi Tenaga Kesehatan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN"
No comments:
Post a Comment